Antara Tradisi Leluhur dan Ambisi, Gusti Moeng Timbul Kekecewaan Terkait Tarian Sakral Bedhaya Ketawang

Tari Bedhaya Ketawang, Tarian Sakral dan Pusaka.(gle)

SURAKARTA | PacuNews.com – Tari Bedhaya Ketawang, sebuah tarian pusaka yang sakral bagi Keraton Surakarta, kini menjadi sorotan karena adanya dugaan pelanggaran pakem adat oleh Raja Surakarta, SISKS Pakubuwana XIII Hangabehi.

Tarian yang dianggap sebagai lambang kebesaran raja ini, memiliki hubungan erat dengan upacara adat, religi, serta percintaan antara Raja Mataram dengan Kanjeng Ratu Kidul.

GKR Koes Moertiyah Wandansari, atau akrab disapa Gusti Moeng, selaku Pengageng Sasana Wilapa sekaligus Ketua Lembaga Dewan Adat (LDA) Keraton Surakarta, mengungkapkan kekecewaannya atas perubahan yang terjadi pada tata cara pementasan Bedhaya Ketawang.

Menurutnya, tarian ini bukan sekadar hiburan, melainkan pusaka yang diturunkan dari leluhur, termasuk Panembahan Senopati dan Sultan Agung Hanyokrokusumo.

Sejarah dan Makna Sakral Bedhaya Ketawang

GKR Koes Moertiyah Wandansari (Gusti Moeng).foto

Tari Bedhaya Ketawang memiliki akar sejarah yang panjang, berawal dari masa Kerajaan Mataram Islam yang didirikan oleh Panembahan Senopati.

Panembahan Senopati, yang memiliki nama asli Danang Sutowijoyo atau Sutawijaya, merupakan putra dari Ki Gede Pemanahan.

READ  Hormati Proses Hukum Terkait BUMD, Afrizal Sintong: Jangan Saling Tuding

Ia berjasa dalam membantu Jaka Tingkir mendirikan Kerajaan Pajang dan kemudian melepaskan diri untuk mendirikan Kerajaan Mataram Islam pada tahun 1582 M.

Panembahan Senopati, yang bergelar Senopati ing Alaga Sayidin Panatagama, adalah raja pertama Kerajaan Mataram Islam yang membawa kerajaan agraris ini menjadi besar dan disegani.

Ia juga berperan penting dalam penyebaran agama Islam di Jawa, dengan mengangkat para wali Kadilangu sebagai penasihat dan memadukan tradisi Islam dengan budaya Kejawen.

Tari Bedhaya Ketawang sendiri konon tercipta dari ilham yang diterima Sultan Agung Hanyakrakusuma, penguasa Mataram pada tahun 1613-1645, saat melakukan semadi dan mendengar senandung dari langit.

Ada pula versi lain yang menyebutkan bahwa tarian ini terinspirasi dari pertemuan dan percintaan Panembahan Senopati dengan Kanjeng Ratu Kencana Sari (Kanjeng Ratu Kidul).

Setelah Perjanjian Giyanti pada 1755, Tari Bedhaya Ketawang menjadi bagian dari warisan budaya Kasunanan Surakarta dan selalu dipentaskan dalam upacara penobatan serta peringatan kenaikan tahta raja.

READ  DPC LSM PENJARA SIAK Minta Pihak Kepolisian Polres Siak Tindak Dugaan Penimbunan BBM Ilegal di Kecamatan Tualang dan Wilayah Siak

Tarian ini dipercaya sebagai representasi hubungan asmara antara Kanjeng Ratu Kidul dengan raja-raja Mataram.

Kekecewaan Gusti Moeng muncul setelah latihan terakhir menjelang Tingalan Dalem Jumenengan SISKS Pakubuwana XIII yang ke-21. Beliau mengungkapkan bahwa Sinuwun melalui utusan (Pakubuwana XIII) meminta agar tarian Bedhaya Ketawang dipentaskan berbeda dari pakem yang ada.

Pada hari ini, Jumat, 24 Januari 2025, sehari menjelang Tingalan Jumenengan Dalem PB XIII yang ke-21 tahun, Gusti Moeng dalam keterangan persnya menyampaikan kekecewaan yang mendalam atas sejumlah pelanggaran adat yang terjadi dalam pelaksanaan Bedhaya Ketawang selama beberapa tahun terakhir.

Pada tahun 2017, PB XIII merusak pakem Bedhaya Ketawang dengan menampilkan hanya bagian depannya dan mempersingkat durasinya menjadi kurang dari 20 menit, padahal seharusnya berlangsung hampir dua jam.

Tahun 2018 lebih parah, hanya menampilkan bagian belakang saja. Hal yang lebih aneh dan mengejutkan terjadi pada latihan terakhir kirab Bedhaya Ketawang, Rabu, 22 Januari 2025, ketika melalui utusannya, PB XIII memaksakan Bedhaya Ketawang versinya sendiri bergabung dengan formasi Bedhaya Ketawang inti, sehingga jumlah penari yang semestinya sembilan orang berubah menjadi delapan belas orang.

“Ini merupakan pelanggaran adat yang sangat serius dalam sejarah Bedhaya Ketawang yang telah berlangsung lebih dari empat abad, dan Ini dipaksakan, sangat tidak menghargai apa itu Bedhaya Ketawang,” ungkap Gusti Moeng dengan penuh kekecewaan.

Perubahan ini dianggap sebagai pelanggaran adat yang sangat serius. Gusti Moeng menjelaskan bahwa tarian ini bukan sekadar pertunjukan, tetapi juga pusaka yang memiliki nilai sejarah dan spiritual yang sangat tinggi.

“Bedhaya Ketawang itu bagi keraton tidak hanya sebuah tarian tetapi pusaka, karena diturunkan oleh eyang panembahan Senopati dan eyang Sultan Agung Hanyokrokusuma,” ujarnya.

Gusti Moeng, yang pernah dititipi amanah oleh ayahandanya, Sri Susuhunan Pakubuwana XII, untuk melestarikan Tari Bedhaya Ketawang, merasa sangat terpukul dengan tindakan kakak kandungnya, Pakubuwana XIII, yang dinilai telah berulang kali merusak pakem tari Bedhaya Ketawang.

 

(Redaksi.)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

x