Gunungsitoli – 03 Januari 2024 Irene Berta Meida Zalukhu Mahasiswa Magister Politik dan Pemerintahan UGM asal Nias Utara, menyampaikan Dalam konteks pembangunan nasional, desa memiliki peran yang sangat penting sebagai unit pemerintahan terkecil yang berfungsi untuk mewujudkan kedaulatan rakyat. Salah satu instrumen yang diharapkan dapat memperkuat posisi desa dalam sistem demokrasi adalah dana desa. Namun, untuk mencapai tujuan tersebut, kita perlu meninjau kembali bagaimana dana desa dikelola dan diawasi agar benar-benar dapat berfungsi sebagai alat untuk menghadirkan desa sebagai unit berdemokrasi.
Sejak diluncurkannya program dana desa pada tahun 2015, pemerintah Indonesia telah mengalokasikan lebih dari Rp 400 triliun untuk mendukung pembangunan desa. Dana ini bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat desa dan mengurangi kesenjangan pembangunan. Namun, meskipun dana desa memiliki potensi besar, berbagai tantangan dan penyimpangan masih sering terjadi. Menurut laporan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), terdapat lebih dari 100 kasus penyalahgunaan dana desa yang sedang dalam penyelidikan. Kasus-kasus ini menunjukkan adanya relasi kuasa yang tidak seimbang antara kepala desa dan perangkatnya, yang sering kali menghambat partisipasi masyarakat dalam pengambilan keputusan.
Salah satu contoh nyata dari penyalahgunaan dana desa terjadi di KBRN Gunungsitoli, di mana Tim Jaksa Penyidik Seksi Tindak Pidana Khusus Kejaksaan Negeri Gunungsitoli melakukan penetapan dan penahanan terhadap tiga orang tersangka. Tersangka tersebut adalah DG selaku bendahara desa/kaur keuangan, FG selaku sekdes, dan DBG selaku pelaksana kegiatan. Mereka diduga terlibat dalam tindak pidana korupsi terkait kegiatan penguatan ketahanan pangan tingkat desa, berupa pengadaan bibit ternak babi tahun 2022 dan pengadaan pupuk tahun 2023, yang bersumber dari dana desa (DD) Fadoro Bahili Kecamatan Mandrehe, Kabupaten Nias Barat, untuk tahun anggaran 2022 dan 2023.
Kepala Kejaksaan Negeri Gunungsitoli, Parada Situmorang, S.H., M.H., menyatakan bahwa hasil perhitungan sementara tim penyidik menunjukkan bahwa jumlah kerugian akibat kegiatan fiktif dan manipulasi data pada pengadaan tersebut mencapai Rp425.410.500,- (empat ratus dua puluh lima juta empat ratus sepuluh ribu lima ratus rupiah). Kasus ini mencerminkan betapa seriusnya masalah penyalahgunaan dana desa dan perlunya pengawasan yang lebih ketat untuk mencegah terulangnya kasus serupa di masa depan.
Dalam konteks ini, penting untuk memahami bahwa relasi kuasa di desa sering kali bermasalah. Struktur kekuasaan yang didominasi oleh kepala desa dan perangkatnya dapat menghalangi partisipasi masyarakat dalam proses pengambilan keputusan. Hal ini bertentangan dengan prinsip demokrasi yang seharusnya memberikan ruang bagi masyarakat untuk terlibat aktif dalam pengelolaan sumber daya desa. Oleh karena itu, pengawasan terhadap penggunaan dana desa harus difokuskan pada misi untuk memfasilitasi kedaulatan rakyat, bukan sekadar memenuhi tuntutan administrasi.
Rethinking yang saya ajukan adalah bahwa pengawasan harus dilakukan dalam rangka mencapai misi yang lebih besar. Selama ini, misi pengawasan cenderung terjebak pada tertib administrasi, yang justru mengarah pada resentralisasi. Pengawasan yang berfokus pada administrasi sering kali mendapatkan tekanan dari atas untuk segera menyelesaikan laporan, sehingga apa yang perlu dimusyawarahkan tidak lagi mendapatkan perhatian yang layak. Hal ini mengakibatkan proses pengambilan keputusan yang seharusnya melibatkan masyarakat menjadi terabaikan, hanya demi memenuhi standar administratif yang terlihat baik di mata nasional.
Teori politik yang relevan dalam konteks ini adalah Teori Kedaulatan Rakyat yang dicetuskan oleh Konteks ini relevan dengan Teori Kedaulatan Rakyat yang di cetuskan oleh Jean-Jacques Rousseau dalam bukunya “The Social Contract” (1762). Rousseau berpendapat bahwa kedaulatan harus berada di tangan rakyat, dan pemerintah harus bertanggung jawab kepada rakyat. Dalam konteks dana desa, hal ini berarti bahwa pengelolaan dana desa harus melibatkan partisipasi aktif masyarakat untuk memastikan bahwa keputusan yang diambil mencerminkan kehendak rakyat.
Sistem pemerintahan desa di Indonesia terbelah antara Kementerian Dalam Negeri, Kementerian Keuangan, dan Kementerian Desa, yang masing-masing memiliki perintahnya sendiri. Hal ini sering kali menyebabkan kebingungan dan tumpang tindih kebijakan, yang berdampak pada efektivitas pengelolaan dana desa. Menurut saya, adanya dana desa menjadi dualisme dalam pengelolaan desa ini, dimana kemudian menciptakan tantangan tersendiri bagi kepala desa dan masyarakat dalam menjalankan fungsi pemerintahan yang sebagaimana mestinya.
Pengawasan yang ada saat ini cenderung hanya memantau aliran dana, bukan misi untuk memastikan bahwa dana tersebut benar-benar digunakan untuk kepentingan masyarakat. Oleh karena itu, penting untuk mengubah paradigma pengawasan dana desa. Pengawasan seharusnya berfokus pada bagaimana dana desa dapat digunakan untuk memberdayakan masyarakat dan mendorong partisipasi aktif dalam proses pembangunan. Jadi, pengawasan tidak hanya berada pada hilir penganggaran, tetapi juga berada pada hulu anggaran di mana anggaran tersebut digunakan di desa. Dengan demikian, dana desa dapat berfungsi sebagai alat untuk menghadirkan desa sebagai unit berdemokrasi.
Maka, dampak dari dana desa itu sendiri yang harus diawasi, karena misinya adalah memfasilitasi warga negara untuk mengekspresikan kreativitas dan gotong royong mereka. Jika pengawasan hanya berfokus pada administrasi, maka esensi dari dana desa sebagai alat pemberdayaan masyarakat akan hilang. Normatifnya, demokrasi di desa harus dikelola dengan kelembagaan yang sudah ada. Jika selama ini kelembagaan tersebut tidak berfungsi dengan baik, maka perlu ada upaya untuk memperbaiki dan menguatkannya. Tantangannya bukan hanya soal sistem pengawasan orang-orang yang berada di lingkungan pemerintahan pusat, tetapi juga bagaimana sistem pengawasan dapat mengawal demokrasi desa secara kelembagaan.
Dalam praktiknya, dana desa seharusnya digunakan untuk mendukung program-program yang melibatkan partisipasi masyarakat, seperti pembangunan infrastruktur, pendidikan, dan kesehatan. Di sinilah pengawasan hulu itu bekerja. Ketika masyarakat terlibat dalam perencanaan dan pelaksanaan program-program ini, mereka akan merasa memiliki dan bertanggung jawab terhadap hasilnya. Ini adalah langkah penting untuk membangun kesadaran demokrasi di tingkat desa.
Namun, tantangan yang dihadapi tidaklah kecil. Banyak desa masih mengalami kesulitan dalam memenuhi persyaratan administrasi yang kompleks untuk penggunaan dana desa. Laporan dari Kementerian Dalam Negeri menunjukkan bahwa kurangnya kapasitas dan sumber daya manusia di tingkat desa menjadi salah satu faktor penghambat. Oleh karena itu, perlu ada upaya untuk meningkatkan kapasitas aparatur desa agar mereka dapat mengelola dana desa dengan baik dan transparan.
Pada akhirnya, kita harus bertanya: apakah dana desa ini akan menjadi alat untuk memperkuat kedaulatan rakyat atau justru sebaliknya? Jawaban atas pertanyaan ini akan menentukan arah kebijakan dan implementasi dana desa di masa depan. Dengan pengawasan yang tepat dan partisipasi aktif masyarakat, dana desa dapat menjadi salah satu alat yang efektif untuk menghadirkan desa sebagai unit berdemokrasi, di mana rakyat memiliki suara dan peran dalam menentukan arah pembangunan di daerah mereka.
Dengan demikian, mari kita bersama-sama memastikan bahwa dana desa tidak hanya menjadi angka dalam anggaran, tetapi juga menjadi instrumen yang memberdayakan masyarakat desa untuk berpartisipasi aktif dalam proses demokrasi. Hanya dengan cara ini, kita dapat mewujudkan desa yang berdaulat, mandiri, dan demokratis.