YOGYAKARTA | PacuNews.com – Karaton Ngayogyakarta Hadiningrat sebagai pusat budaya jawa menyimpan pusaka-pusaka leluhur dari mataram, Demak, dan juga Majapahit.
Yang namanya pusaka tidak terbatas pada tosan aji, tombak, dan keris, namun juga benda-benda bersejarah lain. Gamelan (Kebo Ganggang dan Guntur Laut), hupacara dalem (Banyak, Dhalang, Sawung, Galing, Kandhil, Kacu Mas, Kutuk), Dhampar (Palenggahan Dalem), Amparan (pancatan kaki), Kecohan (tempat sirih), Bendera/Duaja, Kereta, Enceh dan lainnya. Pusaka-pusaka tersebut apalah bentuk/wujudnya merupakan kekayaan khazanah budaya leluhur kita. Dan di Keraton Yogyakarta tetap dirawat, disimpan dengan semestinya sebagai pusaka Keraton.
Demikianlah maka pada bulan Sura awal
tahun Jawa, Keraton menyelenggarakan
upacara siraman/jamasan pusaka. Yang
dipimpin dan diawali oleh Ngarsa dalem
sendiri dengan menjamasi pusaka utama
di Karaton Ngayogyakarta Hadiningrat. Yaitu tombak Kangjeng Kyai Ageng Plered dan keris Kanjeng Kyai Ageng Kopek.
Ada puluhan pusaka tombak dan keris pusaka yang dijamas selama 2 hari di bulan Sura, yaitu pada hari Selasa Kliwon dan Rebo Legi atau Jemuah Kliwon dan Setu Legi. Pada tulisan ini saya sampaikan beberapa informasi tentang keris pusaka Kangjeng Kyai Ageng Kopek.
Hal ini dirasa perlu untuk menghindari pengertian yang mengartikan kata Kopek berasal dari jarwadhosok Kok Epek atau Pek’en yang berarti “pemberian gratis”. Hal ini dirasa tidak benar, sebelum sampai asal muasal keris pusaka Kangjeng Kyai Ageng Kopek.
Tentang dhapur dan kelengkapannya sepertiy ang tertera dalam buku catatan atau Renggan Kagungan Dalem Pusaka pada masa pemerintahan Sri Sultan Hamengkubuwana V (1823-1855) dalam tembang Dhandanggula sebagai berikut:
Kangjeng Kyai Ageng kang winarni
Kopek Pusaka Dalem Jeng Sultan
Ngayogyakarta kaot
Jeng Kyai dhapuripun Jalak Sangutumpeng
prasthithi,
Kandelannya suwasa,
Blewahan abagus,
Sarungan cendhana ngambar,
Jeng Kyai yekti pusaka Mentawis,
Luri ingkang kina-kina Kondisi fisik keris pusaka Kyai Kopek seperti tercantum dalam tembang di atas menyiratkan bahwa dhapur keris Kyai Kopek adalah Jalak Sangutumpeng. Memakai sarungan atau warangka kayu cendana wangi.
Pendhok terbuat dari suwasa blewehan
sengguh, menjadi pusaka Mataram sejak
jaman dahulu. Lalu, darimana asal muasal keris pusaka Kyai Kopek? Sebagai kelanjutan dari tembang di atas yang menggambarkan dhapur warangka dan pendhok, diuraikan bahwa keris tersebut berasal dari raja pertama pendiri negeri Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat yaitu Sri Sultan Hamengkubuwana 1 (1755-1792) setelah perdamaian Giyanti atau Bedhamen Palihan Nagari pada 13 Februari 1755.
Tedhak mring Sultan Ngayogyakarta di Hamengkubuwana kang kapisan Duk palihan nagarine
Neng Giyanti duk Panjadinya Kangjeng Sultani Mugyantuka pusaka Nagari Matarum
Perlu ditambahkan disini keberadaan Kyai Kopek di Karaton Ngayogyakarta memang sejak Sri Sultan Hamengkubuwana I pasca perdamaian Giyanti. Tepatnya setelah 2 hari setelah tanggal 13 Februari 1755 dalam pertemuan di desa Lebak Jatisari dekat Giyanti. Yaitu antara pangeran Mangkubumi (Sri Sultan Hamengkubuwana I) dengan Sunan Pakubuwana III (1749-1788).
Sunan Pakubuwana III mengakui dan menghormati isi perdamaian Palihan Nagari dimana separuh Mataram dikuasai oleh Pangeran Mangkubumi dan separuhnya oleh Sunan Pakubuwana III. Untuk itu Sunan Pakubuwana III lalu menyerahkan keris pusaka kangjeng Kyai Ageng Kopek kepada pamandanya atau “Rama Prabu” Sultan Hamengkubuwana I atau Sultan Kabanaran.
Disamping itu dalam pertemuan di Jatisari (Lebak Jatisari) 15 Februari 1755 juga disepakati bahwa Pangeran Mangkubumi atau Sri Sultan Hamengkubuwana I akan meneruskan budaya Mataram untuk dipakai dan dilestarikan sebagai identitas budaya Nagari Ngayogyakarta. Sedangkan Kasunanan Surakarta menciptakan corak budaya Jawa/Mataram yang lain, karena itulah maka ada budaya gagrag Ngayogyakarta dan gagrag Surakarta sampai sekarang.
Jauh sebelum perdamaian Giyanti dan
pertemuan di Lebak Jatisari pada 15 Februari 1755, pada jaman Kerajaan Demak Sunan Kalijaga menerima pemberian Keris Kyai Kopek dari seseorang yang bernama Darmakusuma. Dikisahkan pada waktu Sunan Kalijaga berada di hutan dalam rangka mencari kayu untuk mendirikan (masjid) Demak, ia berjumpa dengan seorang tua yang dalam pengembaraannya untuk dapat moksa ini disebut wanaprasta atau sanyasin belum dapat moksa karena belum tahu/dapat membaca kitab Kalimasada miliknya. Berjumpalah dengan Sunan Kalijaga yang dimintai tolong untuk dapat membacakan dan menerangkan tentang isi kitab Kalimasada tersebut. Sunan Kalijaga sanggup dan berhasil membacakan sekaligus menerangkan isi Kalimasada. Puas dan lega Prabu Darmakusuma, maka diberikannya hadiah kepada Sunan Kalijaga sebilah keris bernama Kyai Kopek.
Sang Sri Darmakusuma ngayahi Wus winulang nyebut asma Allah Miwah prapteng kamoksane Sri Darma Islam sampun Lan kang garwa sampun winisik Sang Nata nulya nebda Kaki manira sung Beberkatan marang kita Warna keris agung sawabe ing nguni Ki Kopek aranira Tak lama dari peristiwa tersebut Prabu Darmakusuma dan isteri moksa. Kini, didekat masjid Demak terdapat makam Prabu Darmakusuma yang nisannya sangat Panjang, wallahu’alam.
Sunan Kalijaga akhirnya menyerahkan
keris Kyai Kopek kepada muridnya yaitu
Ki Ageng Sela. Sebelumnya Ki Ageng Sela
mempunyai 2 pusaka yaitu pertama tombak Kyai Plered yang merupakan warisan leluhurnya yaitu dari Jaka Tarub yang menurunkan Bondhan Gejawan lalu Getas Pandawa, hingga Ki Ageng Sela. Pusaka kedua berupa bendhe Kyai Bicak yang diperoleh dari seorang dalang kondhang bernama Ki Bicak. Adapun nama semula dari bendhe itu adalah Kyai Pancajanya milik Raden Arjuna. Pusaka ketiga pemberian Sunan Kalijaga berupa keris Kyai Kopek. Percakapan Sunan Kalijaga dan Ki Ageng Sela sebagai berikut:
Gya sang wiku angandika malih, Aja slaya jebeng ya sun darbya, Pan padha pusaka Rajeng, Tan lyan Pandhawa prabu, Sang Sri Darma kang darbe nguni, Warna kris paring dewa, Duk panggih lan ingsun, Kinen akarya pusaka, Ya gadhuhen Ki Kopek araning keris, Jebeng nya tampanana
Ki Ageng Sela diberi pesan oleh Sunan
Kalijaga bahwa ketiga pusaka yaitu Kyai
Plered, Kyai Bicak, dan Kyai Kopek adalah pusaka raja penguasa tanah Jawa yang ketiganya tidak boleh terpisah.
Ki Ageng nembah lon nampani kang kris, Turnya nuwun tyas marwata suta, Sunan nebda iku jebeng pundhinen, disatuhu Telu iku ja pisah benjing, Wis jebeng akeriya, ingsun arsa nglayut, Gya tedhak sing lenggahira, Kyai Ageng nderek ing pintu, Jeng Sunan mijil, Kentar glis tan katingal
Demikian secara ringkas cerita asal keris
pusaka Kyai Kopek berdasarkan beberapa babad jawa seperti Babad Demak-Babad Giyanti.
Sebagai tambahan tentang keris Kyai
Kopek dalam dunia pewayangan diceritakan ketika para Pendhawa remaja melakukan babad alas Mertani, ternyata alas Mertani atau ada yang menyebut Wanamarta itu adalah kerajaan Jin dimana Rajanya adalah Prabu Yudhistira. Dalam proses babad alas tadi Pandhawa remaja berhasil mengalahkan raja raja dan ksatria jin penguasa hutan dan menyulap hutan tersebut menjadi negara Amarta. Raja jin Prabu Yudhistira menyatu pada Wijakangka atau Darmakusuma. Raja jin Yudhistira mempunyai pusaka keris Kyai
Kopek mengikuti tuannya menjadi pusaka raja negeri Amarta atau Indraprastha Begitulah ketika berbicara mengenai pusaka keris Kyai Kopek dan pusaka pusaka lain terdapat bermacam macam keterangan yang campur aduk, antara yang rasional dan irasional. Memang begitulah adanya antara fakta dan fiksi sulit dibedakan. Mending untuk menambah wawasan dan memperbanyak khazanah budaya jawa khususnya.
SUMBER:
Renggan Kagungan Dalem Pusaka
Babad Demak
Babad Giyanti
Kuntaratama