“Tindakan seperti ini mencerminkan sikap alergi terhadap media, dan hal ini dapat berdampak buruk bagi citra Pemerintah Kabupaten Purwakarta. Jurnalis bekerja sesuai kode etik dengan mengonfirmasi informasi kepada pejabat terkait. Memblokir komunikasi seperti ini bukanlah tindakan yang bijak,” tambahnya.
Dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers, dijelaskan bahwa pers adalah lembaga sosial dan wahana komunikasi massa yang melaksanakan kegiatan jurnalistik, meliputi mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi. Undang-Undang ini juga menegaskan pentingnya kebebasan pers untuk menjaga keterbukaan informasi publik.
“Jika ada pejabat, termasuk kepala desa, yang menghindari wawancara atau bahkan memblokir wartawan, itu menunjukkan ketidakpahaman terhadap Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 dan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik (KIP). Sebagai pejabat publik, seharusnya mereka memanfaatkan peran pers untuk memberikan informasi yang transparan kepada masyarakat,” tegas Heri.
Ia menambahkan, pejabat yang bijak seharusnya menggunakan media sebagai corong untuk menyampaikan program-program pemerintah. Hal ini justru akan membantu meningkatkan pemahaman masyarakat terhadap kinerja pemerintah. “Jika digunakan dengan baik, media dapat menjadi mitra strategis untuk memperkuat hubungan antara pemerintah dan masyarakat,” tutupnya.
Kasus ini menjadi catatan penting bagi semua pihak, khususnya para pejabat publik, untuk lebih memahami peran pers dan pentingnya keterbukaan informasi.